Ditjenpas Melakukan Penelitian Scoping Studies Manajemen Kolaborasi Penanganan Warga Binaan dan Anak Kasus Terorisme di Lapas Batu

Penelitian Scoping Studies Manajemen Kolaborasi Penanganan Warga Binaan dan Anak Kasus Terorisme di Lapas Batu, Foto : Humas Lapas Batu

Nusakambangan – Direktorat Jenderal Pemasyarakatan melalui Direktorat TI dan Kerja Sama berkolaborasi dengan mitra organisasi masyarakat sipil (CDS, AIDA, dan YPP) untuk meneliti bagaimana praktik baik kolaborasi penanganan warga binaan dan anak kasus terorisme yang pernah dan masih terjadi di lapangan dengan berpedoman pada Rome Memorandum dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Senin (03/10/2022)

Maksud dari kegiatan ini adalah untuk melakukan kunjungan lapangan tahap kedua dengan target sasaran Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan di Pulau Nusakambangan sebagai pilot project dari Revitalisasi penyelenggaraan Pemasyarakatan yang menekankan perlakuan individual berdasarkan perubahan perilaku. Sedangkan tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan terkait penelitian Scoping Studies Manajemen Kolaborasi Penanganan Warga Binaan dan Anak Kasus Terorisme. Kegiatan penelitian lapangan ini dilakukan dengan metode wawancara kepada para narasumber secara tatap muka, pengamatan lapangan, dan studi dokumen.

Sejak UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diberlakukan, lahir kategori baru narapidana di Indonesia, yakni narapidana teroris (napiter). Narapidana teroris memiliki karakteristik yang khas sehingga memerlukan penanganan yang berbeda dibandingkan narapidana kategori lain. Pada 2012, setelah melalui rangkaian proses diskusi yang melibatkan pakar dan praktisi kepenjaraan dari seluruh dunia, Global Counter Terrorism Forum (GCTF) menghasilkan sebuah panduan praktik baik rehabilitasi dan reintegrasi narapidana kekerasan ekstrem yang dikenal sebagai Rome Memorandum.

Baca Juga  Pastikan Sesuai Standar, Kalapas Batu Tinjau Proyek Nasional Lapas Nirbaya

Disadari atau tidak, seiring waktu Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) telah berusaha menerapkan praktik-praktik baik yang terkandung di dalam Rome Memorandum, seperti penggunaan instrumen untuk menilai kebutuhan napiter, pemisahan napiter dari populasi umum lapas, hingga pelibatan masyarakat sipil dalam pemberian program intervensi.

Namun demikian, praktik baik yang terjadi tidak selalu terdokumentasi dengan baik oleh unit pelaksana teknis Pemasyarakatan maupun Ditjenpas. Banyak kegiatan yang berdampak positif bagi rehabilitasi dan reintegrasi napiter belum menjadi bagian dari program resmi yang masuk ke dalam sistem Pemasyarakatan. Sehingga, meskipun cukup banyak kisah sukses rehabilitasi dan reintegrasi terpidana terorisme, cukup sulit untuk secara empiris mengklaimnya sebagai hasil dari suatu sistem yang berkesinambungan sejak awal (penerimaan) hingga pengakhiran program (terminasi).

Baca Juga  Kalapas Batu Pimpin Apel Pagi Pegawai dan Poltekip Angkatan 53

Dalam kesempatan ini narasumber dari Lapas Batu diwakili oleh Kepala Lapas Kelas I Batu (I Putu Murdiana), KPLP Lapas Kelas I Batu (Riko Purnama Candra), Kepala Bidang Pembinaan Lapas Kelas I Batu (Capung Wiraguna), Wali Narapidana Teroris Lapas Kelas I Batu (Mohammad Ibnu Fajar), Wali Narapidana Teroris Lapas Kelas I Batu (Mochammad Raka Ilhamsyah), dan salah satu warga binaan kasus Terorisme Lapas Kelas I Batu.

Harapanya melalui penelitian dapat dipetakan kebijakan, kegiatan, dan aktor yang terlibat dalam penanganan warga binaan dan anak kasus terorisme, baik yang terdokumentasi oleh Ditjenpas maupun yang tidak. Dari pemetaan tersebut, akan coba diperiksa apa saja kendala dalam implementasi kebijakan, pelaksanaan kegiatan, dan kolaborasi antar-aktor dalam penanganan warga binaan dan anak kasus terorisme. Pada akhirnya, akan dibangun sebuah model praktik baik kolaborasi dalam manajemen penanganan warga binaan dan anak kasus terorisme.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 55 = 63